Rabu, 26 September 2018

Sebuah jurnal : kenangan mondok

Ada kenangan yang hilang di telan waktu, kadang bersama mimpi yang kabur setelah bangun tidur, kadang bersama rutinitas di antara lelahmu beraktifitas, kadang bersama memilih melupakan ketimbang di lupakan. Tapi satu hal yang ingin saya tulis disini, sebelum saya lupa padanya, baiknya kenangan itu saya abadikan saja.



Tidak pernah habis sepertinya, jika membahas tentang sekolah masa SMA. Entah kenapa cerita tentang itu masih saja menjadi cerita terbaik dalam hidup saya, pun setelah ada cerita yang jauh lebih besar dari sekedar cerita cinta masa SMA, namun hadirnya lebih lemah dari keadaan itu sendiri.


Sejauh yang saya ingat, saya masuk karena di paksa, dan saya keluar karena terpaksa. Ketika saya lihat sekolah ini, bertuliskan " Pondok pesantren modern Baharuddin " rasanya enggan untuk memikirkan jadi apa saya 3 tahun ke depan. Apakah saya akan sanggup menjalani hidup sebagai seorang santri, atau saya hanya akan menjadi debu yang bertebaran tidak pasti.



Bahkan setelah beberapa bulan saya menjalani kehidupan sebagai seorang santri, saya masih saja mengeluh tentang aturan yang terlalu ketat. Teman-teman saya gugur satu persatu, sahabat yang selalu berjuang bersama tersisihkan oleh waktu. Dan di malam-malam semester pertama saya di sekolah ini, lebih banyak saya habiskan dengan menangis dan meratapi nasib ketimbang belajar dengan baik.


Hanya dorongan orang tua yang membuat saya tetap bertahan. Dengan ketidakadilan ketika teman-teman seangkatan saya semasa SMP memilih untuk masuk ke SMA favorit mereka, saya tetap berusaha berdiri disini sembari menggenggam hati, berharap setelah bangun esok, semua akan kembali menjadi baik.



Masjid agung Baharuddin lah yang jadi penenang saya ketika rasa bosan melanda. Disana saya sering sekedar memandangi keindahan alam atau mengaji untuk menenangkan hati saya yang kata anak jaman sekarang, mereka bilang itu galau. Seolah masalah saya seberat itu, walau jika saat ini saya pikirkan lagi, saya memang tidak pantas terlalu ambil pusing, sebab hidup waktu itu jauh lebih mudah dari hidup hari ini.




Asrama..... Banyak kenangan yang tertinggal disana. Entah itu tawa atau duka. Kehilangan barang pribadi sudah biasa, tapi kehilangan sesuatu berarti di ganti dengan hal lain yang lebih baik. Saya percaya, saat seragam atau kaos kaki saya hilang, TUHAN mengirimkan senyuman berupa sahabat yang menggantikan. Saya bersyukur bisa mengenal beragam manusia di dalamnya, bisa mengenal sifat satu dan lainnya, bisa terjun langsung dalam kehidupan yang sebenarnya. Bahwa yang lemah harus bersatu agar yang kuat tidak mengganggu, kalimat itu saya gunakan untuk menggambarkan kekuatan kami melawan waktu, kebosanan, dan tekanan belajar. 


Ah rasanya masih terlalu sedikit cerita ini di bandingkan 3 tahun yang saya jalani. Masih terlalu sedikit menggambarkan apa yang saya alami, dan terlalu sedikit untuk merepresentasikan kehidupan di dalamnya. Terimakasih semua, salam santri salam literasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar