Jumat, 05 Desember 2014

secuil kisah tentang sepatu putih

Sepatu putih kesayanganku yg selalu memberi langkahku kehangatan, aku selalu membawanya kemanapun aku pergi, aku di temani olehnya kapanpun dan dimanapun aku berada, dan aku menyayanginya seperti aku menyayangi diriku sendiri.

Sepatu itu adalah peninggalan ibuku, dahulu ibuku adalah pembuat sepatu terbaik di kota timur, namun nasib membawanya kepada kegelapan yg pekat, ia bangkrut karena ulah pacarnya yg selalu menyiksa dan memerasnya, bahkan di akhir hidupnya ia sering keluar malam dan pulang dengan keadaan mabuk berat, membawa beban di punggungnya, membawa awan gelap di atas kepalanya, dan membawa keputus asaan bersama kami.

Ibuku bukan orang tua yg aku harapkan, ia sering melampiaskan kekesalannya padaku, memarahiku tanpa alasan yg jelas, bahkan sering kali mengurung aku dalam kamar, tanpa makanan sampai berhari-hari,semua itu karena ia sedang kesal, namun begitu, aku tak pernah memiliki sedikitpun dendam padanya, aku tak pernah melawan kepadanya, karena ia satu-satunya keluarga yg kumiliki.

Dan malam inipun, di sela-sela tetesan salju, aku berjalan di lorong-lorong gelap, bersama sepatu putih kesayanganku, bersama jiwa ibu di dalamnya. Decitan suara tikus terdengar nyaring sekali, bau busuk kadang sangat terasa, terbawa hembusan angin malam. Aku membawa beberapa tumpukan sampah, menuju tempat sampah di ujung lorong.

Hingga, aku di kagetkan oleh kardus yg bergoyang-goyang, semakin lama goyangannya semakin kuat saja, ada apa di dalam sana? Ada apa di dalam kardus tua itu? Semakin aku mendekat, semakin kuat saja kardus itu bergerak.

Ya ampun, apa ini? Kenapa ada seseorang di sini? Aku beranikan untuk menyentuh tangannya, dingin!!! tangannya dingin sekali, wajahnya pun terlihat sangat pucat, aku berlari ke dapur dan mengambil beberapa potong roti tawar,dan ku berikan padanya. Anak lelaki itu memakannya dengan sangat lahap, baru pertama ku lihat nafsu makan seseorang sekuat itu.

Tapi saat aku hendak memegang kepalannya..... tiba-tiba aku terbangun dari tidurku, mimpi yg sama sudah menghantuiku selama tiga hari terakhir, oh dear! Ayolah, kita sudah berpisah lama, sudah dua tahun, kenapa kau masih terus saja memenuhi fikiranku?

Lamunan tentang pertemuan pertama kami terbawa hingga ke alam nirwana, kerinduan tentang kisahnya yg lucu mampu menghipnotis alam bawah sadarku,wajahnya yg dingin dan sendu terus saja memenuhi fikiranku dengan bayangannya.

Malam inipun, di bawah taburan berjuta bintang, di bawah lantunan lagu alam, sepoi angin yg berhembus, dekikan daun-daun pohon apel yg bertubrukan satu sama lain, dan pemandangan hijau di luar kamar, menemani kesendirianku. Tubuhku sudah lebih dulu tiba di sini, di negeri barat yg asing dan penuh dengan keajaiban, tapi jiwaku seperti tetap bersamanya, di negeri timur yg hangat dan penuh canda tawa.


Lama ku bawa diriku dalam lamunanku, hingga tak terasa lagi matahari mulai terbit di ufuk timur, aku mulai berdoa untukmu di sana, aku mulai lantunkan ayat-ayat untukmu, aku mulai lantunkan syair indah bait demi bait untukmu, aku mohon jangan cari aku lagi, jangan kejar aku lagi, jangan tanya aku dimana, karena aku ingin terbiasa tanpamu.